Puisi Terakhir WS Rendra
Sastrawan WS Rendra telah meninggal tahun 2009 lalu (semoga Alloh merahmatinya). Namun sebelum meninggal dan saat terbaring sakit, beliau sempat menulis sebuah puisi.
Bagiku, puisi ini sangat dalam maknanya. Bahwa sesungguhnya hidup ini adalah amanah, dan apa yang ada pada diri kita adalah titipan semata. Maka tidak boleh ada yang disombongkan sedikitpun dari kita, karena semua itu hanyalah titipan. Yang suatu saat akan diambil kembali oleh Nya. Hanya saja kita tidak pernah tahu, kapan Dia akan mengambilnya.
Puisi ini juga mengingatkan akan pemutus segala kenikmatan yaitu kematian. Seperti sabda nabi “Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan, yakni kematian”.[HR. At-Tirmidziy (no. 2307), An-Nasa'iy (1824) dan Ibnu Majah (no. 4258). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (no. 682)]. Al-Imam Ath-Thibiy -rahimahullah- berkata, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menyerupakan segala kelezatan yang fana dan segala keinginan duniawi dan kehancurannya dengan sebuah bangunan yang menjulang. Bangunan itu akan runtuh oleh berbagai goncangan hebat. Lalu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memerintahkan orang yang terlena dengan dunia untuk mengingat penghancur kelezatan tersebut (yakni, maut) agar ia tak terus-menerus condong kepadanya, (sehingga) ia pun menyibukkan diri dengan sesuatu yang wajib atas dirinya berupa penghadapan diri kepada kampung abadi (yaitu, akhirat)”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (6/92)]
Berikut adalah puisi terakhir dari WS Rendra, semoga bisa menjadi renungan dan peringatan:
Seringkali aku berkata, Ketika semua orang memuji milikku…
Bahwa sesungguhnya ini hanya titipan…
Bahwa mobilku hanya titipan-Nya…
Bahwa rumahku hanya titipan-Nya…
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya…
Tapi, mengapa aku tak pernah bertanya…
Mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah…
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka…
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita…
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsu…
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit,
Kutolak kemiskinan, seolah semua ‘derita’ adalah hukuman bagiku…
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika…
Aku rajin beribadah, maka selayaknya derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku…
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih…
Kuminta Dia membalas ‘perlakuan baikku’, dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku…
“Ya Allah, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah…
Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
Comments
Post a Comment